- Home »
- Mengenal Ibnu Khaldun, Peletak Dasar Sosiologi Islam
Moe
On Tuesday, 28 July 2015
Pemilik Facebook, Mark Zuckerberg menjadikan buku karangannya sebagai salah satu buku bacaan wajib. Sementara, dunia mendaulatnya sebagai ‘Bapak Sosiologi
Islam’. Sederet pemikir
Barat terkemuka seperti
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner,
Franz Rosenthal, dan
Arthur Laffer mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir
Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Sebagai salah satu ilmuwan pemikir hebat dan serba bisa sepanjang
masa, buah pikirnya amat berpengaruh.
Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27
Mei 1332 atau 1
Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkap Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan Islam.
Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam komunitas kelas atas.
Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada di ambang degradasi dan disintegrasi.
Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran
Baghdad dan wilayah di sekitarnya oleh bangsa
Mongol pada tahun
1258, sekitar tujuh puluh lima
tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.
Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Al Quran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke
Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang
memuaskan dalam semua bidang studi.
Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes
yang menelan ribuan
korban jiwa. Akibat peristiwa yang
dikenal sebagai Black
Deathitu,
para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur memaparkan, di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah, ekonomi serta geografi, di bidang hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.
Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika Utara dan Andalusia sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing memperebutkan kekuasaan, di saat umat
Islam terusir dari Spanyol. Tak heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan.
Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris
Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs yang
berkedudukan di
Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang
didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib
Tengah (Aljazair).
Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani
Marin dari Fez,
Maroko,
yang tengah berada di Maghrib
Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan dan sekretaris
sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu selama dua kali
dan sempat pula
dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan negeri itu setelah
Wazir Umar bin Abdillah murka.
Ia kemudian terdampar di Granada pada 764
H. Sultan Bani Ahmar menyambut kedatangannya dan mempercayainya sebagai duta negar di Castilla, sebuah kerajaan
Kristen yang berpusat di
Seville. Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama
kemudian, hubungannya dengan
Sultan kemudian retak.
Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad mengangkatnya menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru
di Bijayah. Setahun kemudian, Bijayah jatuh ke tangan
Sultan Abul
Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.
Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan memberi dukungan. Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan penting. Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan studinya secara otodidak. Ia bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu diusir Sultan Abdul Aziz.
Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama
kemudian, Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez,
Maroko pada 774.
Saat Fez jatuh ke tangan
Sultan Abul
Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke
Granada buat yang
kedua kalinya. Namun, penguasa
Granada tak menerima kehadirannya.
Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental.
Diawali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar (Sejarah Umum). Pada 780
H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke
Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab Al’Ibar.
Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama
kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan.
Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah
madrasah. Setelah menunaikan ibadah
haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803
H, dia bersama pasukan
Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa
Mogul.
Berkat diplomasinya yang
luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang
dikenal sebagai penakluk yang
disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25
Ramadhan 808 H di Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang
lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini. (Sumber: REPUBLIKA)